KONSEP AKIDAH DAN TASAWUF SYEH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Oleh:
A. Izzul Muthok
(Ketua Asnuter Ngronggot)
A.
Pengartar
Bagi para sufi, sebetulnya tasawuf dan syari'at
tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan, akan tetapi mereka
saling melengkapi satu sama lain dan merupakan dari satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Meskipun demikian, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat masih
banyak terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam
tersebut.
Seiring dengan berjalannya sejarah peradaban
Islam, telah muncul ditengah-tengah masyarakat yang ahli dalam bidang tasawuf
dan melahirkan konsep masing-masing. Banyak perbedaan dan persamaan yang muncul
diantara mereka. Jelasnya tasawuf merupakan tradisi keilmuan Islam yang berjasa
sebagai disiplin ilmu dan mampu memberikan solusi kepada manusia yang merasa
belum puas dengan ibadah formal yang sudah ditentukan oleh ahli fiqih.
Sebagai seorang sufi sekaligus ulama besar,
syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah sosok yang mampu menjembatani kesenjangan
yang terjadi antara ajaran tasawuf dan fiqih. Sehingga antara ajaran tasawuf
dan fiqih bisa berjalan bersama. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga salah satu
tokoh sufi yang paling terkemuka dan memiliki pengaruh paling besar di dunia
Islam. Beliau dari dulu sampai sekarangdikenal dengan sebutan penguasa,
pemimpin para wali (Sulthanal-Auliya'), Qutubul
Auliya' dan imam para sufi. Beliau merupakan tokoh
spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati yang
bersanding bersama keindahan karomah-karomah yang sangat luar biasa sehingga
mendapat predikat muhyiddin penghidup
agama. Di sini penulis ingin menelusuri dan mengenal lebih jauh tentang ajaran
dan konsep akidah dan tasawuf dari syeh Abdul Qadir Al-Jailani.
B.
Kondisi Sosial Politik di Zaman Syeh Abdul
Qadir Al-Jailani
Syeh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan
seorang tokoh spiritual yang lahir pada pertengahan masa daulah Abbasiyah IV
atau Bani Saljuk pada tahun 477-590H/1084-1197 M.[1]
Kondisi saat itu tengah dilanda pergolakan baik dari luar maupun dari
luar dan persaingan ideologis yang hebat, sehingga mengakibatkan dehumanisasi,
despiritualisasi dan destrukturalisasi. Namun al-Jailani tumbuh dalam
lingkungan yang penuh dengan kemajuan baik ilmu pengetahuan, intelektualitas
maupun kemasyarakatan.
Masa Daulah Abbasiyah pada masa itu didampingi
oleh dinasti Bani Saljuk (Turki II), bahkan dinasti Saljuk banyak berperan dan
mewarnai Daulah Abbasiyah IV. Hal seperti ini juga terjadi pada kekuasaan Bani
Buwaih keturunan Syia'ah Imamiyah Iran tahun 334-447 H/945-1055 M yang mendampingi
kekuasaan Daulah Abbasiyah di kota Baghdad. Masa Daulah Abbasiyah IV diwarnai
dengan dua corak kepemimpinan yaitu corak kekhalifahan yang kekuasaannya
dipegang oleh keturunan Abbasiyah dan corak kesultanan yang kekuasaannya
dipegang oleh keturunan Saljuk. Ada perbedaan antara Bani Buwaih dengan Bani
Saljuk dalam hal dominasi kekuasaan. Pada masa Bani Buwaih, khalifah sama
sekali digeser peranannya, tetapi pada masa Saljuk, khalifah masih mendapat
kehormatan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya hak legitimasi khalifah
terhadap sultan.[2]
Ahmad Kamaluddin Hilmi menyebutkan bahwa masa
pemerintahan Saljuk yaitu pada masa Izzal-Muluk bin Nizham al-Muluk, masa wazir
Barkyaruk negara ditandai dengan kezaliman dan kemerosotan moral. Mereka
terbius dengan kemewahan duniawi, berfoya-foya, mabuk-mabukkan, menumpuk harta
dan budak. Hal ini sebagaimana pula yang disebutkan oleh Ali bin Abi Ali
al-Qumi dalam Diwan al-Istiwa bahwa masa itu ditandai dengan kesuraman.[3]
Dengan kondisi tersebut, banyak kalangan dari
orang terkenal yang lari mengasingkan diri dan bertasawuf dalam hidupnya karena
merasa prihatin. Sehingga dari kenyataan ini tasawuf hidup dengan subur.
Tokoh-tokoh sufi yang bermunculan pada masa itu adalah al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani
walaupun belum ditemukan al-Jailani berguru kepada al-Gazhali namun hidup
mereka sezaman. Kemudian al-Anwari, As-Sinai, dan Dahiruddin al-Faryabi.[4]
Dengan demikian Al-Jailani hidup dimasa
pertengahan Daulah Abbasiyah yang
dalam masa pergolakan krisis politik baik dari dalam maupun luar. Selain itu
ditandai dengan kezaliman dan kemerosotan moral dari para penguasa dan
masyarakat. Masyarakat Baghdad terbius dengan kemewahan duniawi, berfoya-foya,
bermabuk-mabukkan, menumpuk harta dan budak[5].
Keadaan seperti itu tidak sebanding dengan keadaan keramaian intelektual dan
megahnya peradaban di Baghdad pada masa itu. Dikarenakan kota itu sebagai pusat
pendidikan dan menjadi sentral peradaban untuk menuntut ilmu.[6]
Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani
semasa hidupnya. Situasi ini diantaranya yang mendorong al-Jailani untuk
menjadi petunjuk jalan kebenaran,berdakwah, mengajar, dan bertekad
memperbaharui jiwa-jiwa yang rusak, memerangi kemunafikan, dan memadamkan bara
api perpecahan[7].
Dengan kondisi tersebut banyak orang terkenal
lari dan mengasingkan diri untuk bertasawuf karena merasa prihatin. Sehingga
dengan adanya kenyataan ini tasawuf hidup subur. Tokoh-tokoh sufi yang
bermunculan: Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, al-Anwari, As-Sina'i,
dan Dahiruddin al-Faryabi.[8]
Al-Jailani tampil untuk menyelamatkan kemerosotan akhlak yang terjadi di masa
itu dan melakukan upaya tabayun konsepsi akidah.
Sebagian ulama salaf seperti Imam Sya'rani
menilai bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani
mengkompromikan madzhab Hambali dan Syafi'i dalam ilmu fikih.[9]
Madzhab Hambali yang dianggap skriptual ternyata bisa sinergis dalam sufisme
menerima cahaya kebenaran. Ada yang berpendapat bahwa keteguhan Syeh
Abdul Qadir al-Jailani
dalam madzhab Hambali ini untuk mempertahankannya dari kepunahan. Hal ini
dibuktikan oleh salah satu muridnya, Ibnu Qudamah yang kemudian mempunyai
peranan besar dalam melestarikan Madzhab Hambali [10]
Hal ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf al-Jailani bersifat universal dan
toleran dalam interaksi antara Tuhan dengan manusia, sehingga menjadi pedoman
pemahaman inter-religi.
C.
Konsep Akidah Syeh Abdul Qadir Al-jailani
Untuk menyelamatkan kemerosotan akhlak yang
terjadi di masa itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani berusaha melakukan upaya
tabayun konsepsi akidah dalam hal ini yang dilakukannya adalah bertasawuf.
Tasawuf dalam pandangan al-Jailani adalah integrasi keilmuan yang berlandaskan
al-Quran dan Hadits serta konsistensi pengamalan ajaran Islam dengan
menjernihkan jiwa dan pikiran melalui pembersihan hati. Yaitu dengan cara
mengaktualisasikan diri menyembah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan
memiliki akhlak yang terpuji ketika berinteraksi dengan manusia.[11]
Ciri khas sufisme al-Jailani adalah mengatur dua dimensi rasional, pertama;
secara vertikal hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk ibadah, kedua;
hubungan horizontal sesamamanusia sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi.
Dengan demikian paradigma sufistik Syeh Abdul Qadir al-Jailani adalah integrasi
ilmu dan amal.
Syeh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan ada
beberapa tingkatan iman. Beliau memberikan uraian derajat iman terdapat dalam
beberapa tingkatan: (1) keyakinan (2) keikhlasan (3) menunaikan kewajiban (4)
menyempurnakan ibadah sunnah (5) menjaga akhlak dalam segala aspek ibadah dan
muamalah. [12]
Aspek yang terakhir merupakan aspek yang paling penting dan disebut sebagai
benteng pertahanan, karena bagaimanapun juga syetan dengan segala cara bisa
menggoda manusia untuk menembus benteng pertahananan tersebut. Oleh karena itu
jika tidak dijaga akhlak seseorang maka syetan akan mampu menembus ke level
yang diatasnya yaitu kewajiban, keihklasan dan keyakinan. Dan merupakan benteng
terakhir sehingga mengakibatkan hilangnya keimanan seseorang.
Oleh karena itu merupakan kewajiban bersufi
untuk bisa menjaga adab-adab syariah agar bisa mencapai pengetahuan yang layak
di hadapan Tuhan serta mendapatkan hakikat dan makrifat akan keberadaan Tuhan
Sang Pencipta Alam Raya. Hal ini hanya bisa dilakukan melalui pekerjaan hati.
Mengingat tempat bersemayam iman ada di hati. Dengan pemantapan adab ini,
berarti akan menyinari keislaman secara lahir dan batin.[13]
Dalam melancarkan dakwah Islam, al-Jailani
lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah.
Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang
muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang
muslim atas ketentuan yang berlaku menurut syariat Allah. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani
berkata: Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan
dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan
ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan, dan semua itu akan terjadi dengan
pertolongan Allah.[14]
Menurut Syeh Abdul Qadir al-Jailani pencarian
ma'rifat harus bertumpu pada keimanan yang menjadi keyakinan (haqqal-yaqin),
sehingga dari keyakinan itu muncul ma'rifat,
dan kemudian ma'rifat inilah yang akan muncul sebagai ilmu yang menyebabkan
cerdas di sisi Allah Swt. Hal ini merupakan salah satu arti ma'rifat menurut
Syaikh Abdul Qadir, dimana seseorang tidak lagi menyekutukan Allah Swt dengan
makhluk, amal, ataupun keinginannya. Keesaan Allah Swt benar-benar dijunjung
tinggi, tempat bergantung seluruh makhluknya, tidak ada yang menyamai-Nya
(sifat dan dzat-Ny a), dan tidak bisa diterka-terka.[15]
Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian
syirik, Syeh Abdul Qadir al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam.
Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga
pada pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan
akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri
pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan
dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan
akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga
menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awam,) adalah menyekutukan
kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia.[16]
Syeh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang
sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran
yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai
oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan
Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam
permasalahan "usaha manusia" (afal
al-'ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabariyah
yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan
Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk,yang benar
atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah
swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkan serta
menjadikan sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan
perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb).
Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah
bahwa perbuatan itu karena usaha mereka. [17]
Berbeda dengan Jabariyah, mereka berpendapat
bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Sedangkan pandangan Syeh
Abdul Qadir al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri.[18]
Jadi jelaslah di sini bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani
tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum
Jabariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam
setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani
menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim tersebut. Dan Syeh Abdul
Qadir al-Jailani menganjurkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa.
Jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), oleh sebab itu Allah
swt lebih mengetahui segala hikmah.
D. Konsep Tasawuf Syeh Abdul Qodir
Al-Jailani
Menurut Syeh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab
Sir al-Asrar, Syeh Abdul Qadir Al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya
sesuai dengan huruf-hurufnya "Tasawuf. [19]
Huruf pertama adalah "ta" yang berarti taubah. Pintu taubat
adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah.
Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan
taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan
dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat
batin sama artinya dengan tashfyah
al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk
kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah
mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah
al-Haq.[20]
Huruf kedua adalah "shad"
yang berarti "shafa"
yang berarti bersih dan bening. Makna shafa' disini
juga meliputi dua macam shafa', yakni shafa'
al-qalb dan shafa
as-sirr. Maksud dari shafa'al-qalb
adalah membersihkan hati dari sifat-sifat
manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum,
banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain.
Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan
memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada
tingkatan takut. [21]
Sedangkan maksud dari shafa
as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala
sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma' Allah melalui
lisannya secara sirr. Apabila
keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf 'shad' ini.[22]
Huruf ketiga adalah 'waw' yang bermakna
wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Orang
yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari
Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya
bersesuaian dengan kehendakNya.[23]
Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: "Hamba-Ku
yang beriman selalu mendekatkan diri dengan mengerjakan amalan-amalan yang
diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka
Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya
ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja dan menjadi kakinya,
dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, beginilah fana.[24]
Huruf yang terakhir adalah 'fa' yang
melambangkan fana' di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan
segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah.
Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya.
Jika sudah demikian, maka ke-fana'an manusia akan abadi (baqa') bersama
Tuhannya dan keridhaan-Nya.[25]
Pengertian fana' Syeh Abdul Qadir al-Jailani
ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari
istilah fana'-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka.
Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para
sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada
diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan,
sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya
setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk
menjelaskan keabadian seorang hamba, Syeh Abdul Qadir al-Jailani lebih
hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan
amal shalihnya. [26]
Meskipun Syeh Abdul Qadir al-Jailani tidak
mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal
secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan Syeh
Abdul Qadir al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah
mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap
tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan
macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana'.[27]
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti
memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali Syeh Abdul Qadir al-Jailani
tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri dalam arti membenci dunia
meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan
mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai
permasalahan ini Syeh Abdul Qadir al-Jailani juga berkata dalam kitab futuhul
ghoib: "Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya.
Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak
olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu
dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta
adalah harta hamba yang saleh.[28].
Syeh Abdul Qadir Al-Jailani mengibaratkan dunia
bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan
nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan
segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan
di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: "Tidak
ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti. Dan dunia adalah penjara bagi
orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir. " [29]
Dunia dipandang olehnya sebagai proses
kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme
dalam pandangan Syeh Abdul Qadir al-Jailani merupakan sufisme yang progresif,
aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra
'ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat.
Beliau berhasil memadukan antara syariat dan
sufisme secara praktis-aplikatif. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani meniscayakan
syariat sebagai syarat mutlak untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat,
dan kunci penting untuk sampai pada kedekatan dengan-Nya.
Beliau juga mengungkapkan bahwa ma'rifat harus
dilalui dengan mujahadah dan pembersihan diri (tazkiyah
al-nafs).[30] Hal di
atas dapat diketahui dari konsep ma'rifat Syeh Abdul Qadir al-Jailani yaitu: "Kenali
Allah Swt (ma 'rifatullah) dan jangan sampai kalian tidak mengenalnya. Taatilah
Allah SWT, dan jangan sampai kalian bermaksiat kepada -Nya. Ikutilah
(Petunjuk-Nya), dan janganlah kalian berlawanan dengan-Nya, Ridhailah
keputusan-Nya, dan janganlah kalian menentang-Nya, Kenalilah Allah SWT melalui ciptaan-Nya,
Dialah Yang Maha menciptakan dan Maha memberi rizki, Yang Paling Awal dan Yang
Paling Akhir, Yang Paling Tampak dan Yang Paling Rahasia, Yang Paling Terdahulu
dan Yang Paling Ada, serta Maha berbuat Terhadap sesuatu yang dikehendaki-Nya
"[31]
Orang-orang ma'rifat menurut Syeh Abdul Qadir al-Jailani
memiliki keikhlasan sempurna dalam ibadahnya dengan memberikan sifat ketuhanan
dan pengabdian kepada-Nya sesuai dengan hak-Nya. Disini hak nafsu menjadi benar
karena telah buta kepada dunia, akhirat, dan segala sesuatu selain Allah SWT.
Maka dengan kualitas tersebut, para arifin memiliki perbedaan mendasar dengan
manusia lain. Manusia lain seperti gambar tanpa ruh, sedangkan mereka ruh itu
sendiri, manusia pada umumnya dzahir, sedang mereka adalah batinya, manusia
lain ibarat bangunan fisik (mabani)
sedangkan mereka adalah arti (ma'ani),
manusia lain sebagai wujud kasar (jahr) sedangkan
mereka halus (sirr). Mereka
adalah pembela para Nabi, beramal dengan amal para Nabi. Dan inilah makna
kalimat bahwa ulama merupakan pewaris para Nabi.[32]
Konsepsi sufistik Syeh Abdul Qadir al-Jailani
adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari'at Ilahi.
Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan
kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari'at di antara thariqah, ma'rifah, dan
haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. "Syari
'at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma 'rifah adalah
daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya"[33] Jadi
untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari'at
dengan istiqamah.
E.
Penggabungan Konsep Akidah Tasawuf dengan Fiqih dalam Membentuk
Kepribadian Seorang Muslim
Ada lima
komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian Muslim. Dasar pertama
adalah akidah yang benar, yang berdiri di atas keimanan yang benar, yang
mendorong pada tindakan yang lurus. Dasar kedua ada model ideal yang menjadi
uswah hasanah, teladan yang baik. Dasar ketiga adalah kapasitas diri untuk
menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan menerapkan ilmu dalam
kehidup annya. Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya
senantiasa membutuhkan Allah. Dasar kelima adalah semangat berjihad yang
mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam
hidupnya.[34]
Rasulullah
Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi
umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai
spiritual memadukan model pengamalan agama yang memenuhi kebutuhan biologis dan
sosial umat Islam secara legal formal yang tercermin pada hukum fikih yang
mencakup aspek ibadah dan muamalah. pada waktu yang sama sangat memperhatikan
pembersihan diri dari segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian
diri, kekayaan batin, keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan
hati, kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.[35]
Dengan
memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam menjalani kehidupan,
maka akan melahirkan pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan
kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan
sosial, serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang
berorientasi ukhrawi.
Seorang
yang memadukan pengamalan syariah dengan tasawuf secara baik dan benar akan
menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup berikut ini:
(1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi lahir; (2) lebih memilih
pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, 'uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar
pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih mengutamakan kepuasaanspiritual
yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif;
dan (4) memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah,
hina, dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani; serta (5)
memandang aktivitas muamalah seperti bekerja, berdagang, bertani dengan
mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina.[36]
Pada
waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih dengan tasawuf akan
menjauhi pola hidup hedonis. Menurut paham ini, suatu perbuatan dinyatakan baik
apabila perbuatan tersebut mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan
secara biologis.
Demikian
sebaliknya, suatu perbuatan dinyatakan buruk, apabila perbuatan itu tidak
mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis. Jadi,
kelezatan, kenikmatan dan kepuasan biologis menjadi ukuran dalam menilai baik
dan buruknya suatu perbuatan. Aliran Hedonisme merupakan pemikiran filsafat
Epicurus (341-270 SM) yang ketika pertama dicetuskan menyebutkan bahwa
kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan yang menjadi ukuran baik dan buruknya suatu
perbuatan itu tidak hanya secara biologis, tetapi juga secara rohani dan
intelektual. Namun, pada perkembangan selanjutnya hedonisme hanya menilai baik
dan buruknya suatu perbuatan dari segi kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan
biologis saja. Menurut aliran ini, minuman keras, berjudi, pornoaksi,
pornografi, berbuat mesum, dan berzina adalah perbuatan baik, apabila tindakan
itu mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan biologis.[37]
Substansi
syariat atau fikih adalah aturan-aturan dan norma-norma hukum yang memberikan
arah dan tujuan agar ibadah, pengabdian dan penyerahan diri manusia kepada
Allah dilakukan dengan benar sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana
digariskan di dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad Saw., serta membawa dampak
pada penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah. Syariat atau hukum Islam
tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak. Bahkan dalam keadaan tertentu
dituntut untuk mengedepankan akhlak atas hukum. Di dalam Alquran banyak
mengajarkan semangat mendahulukan kemurahan hati dan kebajikan daripadamenuntut
hak dan mempertahankannya. Berdasarkan penjelasan di atas, syariah dan tasa-wuf
atau hukum dan moralitas bersifat integral.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Dijelaskan bahwa penggabungan antara syariat dan tasawuf
atau hukum dan moralitas merupakan
prinsip hidup seorang Muslim berdasarkan bimbingan Alquran dan Sunah. Keseimbangan
diantara orientasi hukum dan moralitas merupakan prinsip penting di dalam Islam.
F.
Penutup
1. Konsep akidah menurut syekh
Abdul Qadir Al-Jailani adalah tidak
menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum
Jabariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam
setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani
menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim tersebut. Dan Syeh Abdul Qadir
al-Jailani menganjurkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa. Jika
takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), oleh sebab itu Allah swt
lebih mengetahui segala hikmah
2. Konsep
tasawuf menurut syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah tasawuf yang dilandasi
al-Qur'an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal
jama'ah, juga mengajarkan bahwa orang bertasawuf harus seimbang berhubungan
dengan Sang Khalik dan sesama manusia. Dunia dipandang olehnya sebagai proses
kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan.
3. Penggabungan
akidah, tasawuf dengan fiqih dalam membentuk kepribadian seorang muslim yang
progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra 'ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat,
Syariat sebagai syarat mutlak untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat,
dan kunci penting untuk sampai pada kedekatan dengan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jailani, Abdul Qadir, Futuhul
Ghoib, Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973
Al-Jailani, Abdul Qadir, Sirr
al-Asrar wa Madhhar al-Anwar Kairo:
Mathba'ah a l-Mishriy ah, tt.
Al-Jailani, Abdul Qadir. al-Ghunyahli Thalib Thariqal-Haqq, Vol.I Beirut: Dar al-Ihya
at-Turats al-'Arab, 1996.
Al-Sha 'rani, Tabaqat
al-Kubra Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,tt
Fadil, Muhammad al-Jailani, Nahr
al-Qadiriyah. Istanbul : Markaz al-Jailani li al-Buhuts
al-Ilmiyah, 2010
Hasan, Abul an-Nadwi, Rijal
al-Fikri wa ad-Dakwahfi al-Islam Kuwait:
Dar al-Qalam, 1969
Hasyim, Umar, Menjadi Muslim Kaffah
Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, diterjemahkan oleh Joko Suryanto
dari buku, "Syahshiyah Muslim", . Makkah: Maktabah al -Tijariyyah),
cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005.
Kamaluddin, Ahmad Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh
waal-Hadharah Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975
Madkur,
Ibrahim, Fi
Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu Kairo: Dar al-Ma'arif, 1976
Qadir, Abdul bin Habibullah as-Sindi, at-Tashawuffi
MizanilBahtsiwa Tahqiq, Darul
Manar, 1995, cet.II.
Razaq, Abdul, al-Kaylani, Abdul
Qadir Jailani: al-Imam al-Zahid al-Qudwah, tt
Usman, Asep Ismail dkk., dalam Sri Mulyati,
(ed), Tasawuf, cet. ke-1, (Jakarta: Pusat Studi Wa nita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005.
[1] Ahmad Kamaluddin Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh waal-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975), h.197
[2] Ibid., h.198
[3] Ibid., h.200
[4] Abul Hasan an-Nadwi, Rijal al-Fikri wa ad-Dakwahfi al-Islam (Kuwait: Dar al-Qalam, 1969), h.237
[5] Ahmad Kamaluddin Hilmi, As-Salajiqahfi-at Tarikh wa al-Hadharah (Kuwait: Dar Al-Buhuts al-Ilmiah, 1975), h.
200.
[6] Abdul Razaq, al-Kaylani, Abdul Qadir Jailani: al-Imam al-Zahid al-Qudwah,
tt h.105
[7] Ahmad Kamaluddin Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh waal-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975),
hlm.198
[8] Abu Hasan An-Nadwi, Rijal Al-Fikri wa Ad-Dakwahfi Al-Islam (Kuwait Dar Al-Qalam, 1969), h. 237.
[9] Al-Sha 'rani, Tabaqat al-Kubra (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,tt), h. 109
[10] Abdul al-Razaq al-kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Imam al-Zahid
al-Qudwah,tt h.126
[11] Muhammad Fadil al-Jailani, Nahr al-Qadiriyah (Istanbul : Markaz al-Jailani li al-Buhuts
al-Ilmiyah, 2010), cet.1. h. 185
[12] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyahli Thalib Thariqal-Haqq, Vol.I(Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 149
[13] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol.I (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 150
[14] Ibid., h. 93
[15] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, (Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973),
h.13
[16] Abdul Qadir Al-Jailani, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol.I, (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 42.
[17] Abdul Qadir bin Habibullah as-Sindi, at-Tashawuffi MizanilBahtsiwa Tahqiq, Darul Manar, 1995, cet.II, h. 509.
[18] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, (Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973),
h.22 Vol. 7. No. 1. April 2021 h. 1 - 28
[19] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah a l-Mishriy ah), tt. h.76
[20] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah a l-Mishriy ah), tt. h.77
[21] Ibid., h.77
[22] Ibid., h78
[23] Ibid., h.78
[24] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba'ah Mustofa: Mesir, 1973), h.
15
[25] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah al-Mishriyah, tt. h.79
[26] Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1976), 25
[27] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba'ah Mustofa: Mesir, 1973), h.
13
[28] Ibid.,h.129
[29] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib Penyingkap Keghaiban (Titah Surga: Yogyakarta, 2015), h.128
[30] Ibid., h. 52
[31] Ibid., h. 58
[32] Abdul Qadir al-Jailani, Fath ar-Rabbani ( Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 2010), h. 50
[33] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah al-Mishriyah tt) h.62
[34] Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah
Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, diterjemahkan oleh Joko Suryanto
dari buku, "Syahshiyah Muslim", (Makkah: Maktabah al -Tijariyyah),
cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 13-64
[35] Ibid. h. 203 .
[36] Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah
Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, h. 568
[37] Asep Usman Ismail dkk., dalam Sri Mulyati,
(ed), Tasawuf, cet. ke-1, (Jakarta: Pusat Studi Wa nita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005), h. 16