Senin, 06 Maret 2023

KONSEP AKIDAH DAN TASAWUF SYEH ABDUL QADIR AL-JAILANI

 KONSEP AKIDAH DAN TASAWUF  SYEH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Oleh:

A. Izzul Muthok

(Ketua Asnuter Ngronggot)

 

A.      Pengartar  

Bagi para sufi, sebetulnya tasawuf dan syari'at tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan, akan tetapi mereka saling melengkapi satu sama lain dan merupakan dari satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun demikian, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat masih banyak terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam tersebut.

Seiring dengan berjalannya sejarah peradaban Islam, telah muncul ditengah-tengah masyarakat yang ahli dalam bidang tasawuf dan melahirkan konsep masing-masing. Banyak perbedaan dan persamaan yang muncul diantara mereka. Jelasnya tasawuf merupakan tradisi keilmuan Islam yang berjasa sebagai disiplin ilmu dan mampu memberikan solusi kepada manusia yang merasa belum puas dengan ibadah formal yang sudah ditentukan oleh ahli fiqih.

Sebagai seorang sufi sekaligus ulama besar, syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah sosok yang mampu menjembatani kesenjangan yang terjadi antara ajaran tasawuf dan fiqih. Sehingga antara ajaran tasawuf dan fiqih bisa berjalan bersama. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga salah satu tokoh sufi yang paling terkemuka dan memiliki pengaruh paling besar di dunia Islam. Beliau dari dulu sampai sekarangdikenal dengan sebutan penguasa, pemimpin para wali (Sulthanal-Auliya'), Qutubul Auliya' dan imam para sufi. Beliau merupakan tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati yang bersanding bersama keindahan karomah-karomah yang sangat luar biasa sehingga mendapat predikat muhyiddin penghidup agama. Di sini penulis ingin menelusuri dan mengenal lebih jauh tentang ajaran dan konsep akidah dan tasawuf dari syeh Abdul Qadir Al-Jailani.

 

B.       Kondisi Sosial Politik di Zaman Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan seorang tokoh spiritual yang lahir pada pertengahan masa daulah Abbasiyah IV atau Bani Saljuk pada tahun 477-590H/1084-1197 M.[1] Kondisi saat itu tengah dilanda pergolakan baik dari luar maupun dari luar dan persaingan ideologis yang hebat, sehingga mengakibatkan dehumanisasi, despiritualisasi dan destrukturalisasi. Namun al-Jailani tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kemajuan baik ilmu pengetahuan, intelektualitas maupun kemasyarakatan.

Masa Daulah Abbasiyah pada masa itu didampingi oleh dinasti Bani Saljuk (Turki II), bahkan dinasti Saljuk banyak berperan dan mewarnai Daulah Abbasiyah IV. Hal seperti ini juga terjadi pada kekuasaan Bani Buwaih keturunan Syia'ah Imamiyah Iran tahun 334-447 H/945-1055 M yang mendampingi kekuasaan Daulah Abbasiyah di kota Baghdad. Masa Daulah Abbasiyah IV diwarnai dengan dua corak kepemimpinan yaitu corak kekhalifahan yang kekuasaannya dipegang oleh keturunan Abbasiyah dan corak kesultanan yang kekuasaannya dipegang oleh keturunan Saljuk. Ada perbedaan antara Bani Buwaih dengan Bani Saljuk dalam hal dominasi kekuasaan. Pada masa Bani Buwaih, khalifah sama sekali digeser peranannya, tetapi pada masa Saljuk, khalifah masih mendapat kehormatan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya hak legitimasi khalifah terhadap sultan.[2]

Ahmad Kamaluddin Hilmi menyebutkan bahwa masa pemerintahan Saljuk yaitu pada masa Izzal-Muluk bin Nizham al-Muluk, masa wazir Barkyaruk negara ditandai dengan kezaliman dan kemerosotan moral. Mereka terbius dengan kemewahan duniawi, berfoya-foya, mabuk-mabukkan, menumpuk harta dan budak. Hal ini sebagaimana pula yang disebutkan oleh Ali bin Abi Ali al-Qumi dalam Diwan al-Istiwa bahwa masa itu ditandai dengan kesuraman.[3]

Dengan kondisi tersebut, banyak kalangan dari orang terkenal yang lari mengasingkan diri dan bertasawuf dalam hidupnya karena merasa prihatin. Sehingga dari kenyataan ini tasawuf hidup dengan subur. Tokoh-tokoh sufi yang bermunculan pada masa itu adalah al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani walaupun belum ditemukan al-Jailani berguru kepada al-Gazhali namun hidup mereka sezaman. Kemudian al-Anwari, As-Sinai, dan Dahiruddin al-Faryabi.[4]

Dengan demikian Al-Jailani hidup dimasa pertengahan Daulah Abbasiyah  yang dalam masa pergolakan krisis politik baik dari dalam maupun luar. Selain itu ditandai dengan kezaliman dan kemerosotan moral dari para penguasa dan masyarakat. Masyarakat Baghdad terbius dengan kemewahan duniawi, berfoya-foya, bermabuk-mabukkan, menumpuk harta dan budak[5]. Keadaan seperti itu tidak sebanding dengan keadaan keramaian intelektual dan megahnya peradaban di Baghdad pada masa itu. Dikarenakan kota itu sebagai pusat pendidikan dan menjadi sentral peradaban untuk menuntut ilmu.[6]

Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani semasa hidupnya. Situasi ini diantaranya yang mendorong al-Jailani untuk menjadi petunjuk jalan kebenaran,berdakwah, mengajar, dan bertekad memperbaharui jiwa-jiwa yang rusak, memerangi kemunafikan, dan memadamkan bara api perpecahan[7].

Dengan kondisi tersebut banyak orang terkenal lari dan mengasingkan diri untuk bertasawuf karena merasa prihatin. Sehingga dengan adanya kenyataan ini tasawuf hidup subur. Tokoh-tokoh sufi yang bermunculan: Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, al-Anwari, As-Sina'i, dan Dahiruddin al-Faryabi.[8] Al-Jailani tampil untuk menyelamatkan kemerosotan akhlak yang terjadi di masa itu dan melakukan upaya tabayun konsepsi akidah.

Sebagian ulama salaf seperti Imam Sya'rani menilai bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani mengkompromikan madzhab Hambali dan Syafi'i dalam ilmu fikih.[9] Madzhab Hambali yang dianggap skriptual ternyata bisa sinergis dalam sufisme menerima cahaya kebenaran. Ada yang berpendapat bahwa keteguhan Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam madzhab Hambali ini untuk mempertahankannya dari kepunahan. Hal ini dibuktikan oleh salah satu muridnya, Ibnu Qudamah yang kemudian mempunyai peranan besar dalam melestarikan Madzhab Hambali [10] Hal ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf al-Jailani bersifat universal dan toleran dalam interaksi antara Tuhan dengan manusia, sehingga menjadi pedoman pemahaman inter-religi.

C.      Konsep Akidah Syeh Abdul Qadir Al-jailani

Untuk menyelamatkan kemerosotan akhlak yang terjadi di masa itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani berusaha melakukan upaya tabayun konsepsi akidah dalam hal ini yang dilakukannya adalah bertasawuf. Tasawuf dalam pandangan al-Jailani adalah integrasi keilmuan yang berlandaskan al-Quran dan Hadits serta konsistensi pengamalan ajaran Islam dengan menjernihkan jiwa dan pikiran melalui pembersihan hati. Yaitu dengan cara mengaktualisasikan diri menyembah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan memiliki akhlak yang terpuji ketika berinteraksi dengan manusia.[11] Ciri khas sufisme al-Jailani adalah mengatur dua dimensi rasional, pertama; secara vertikal hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk ibadah, kedua; hubungan horizontal sesamamanusia sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi. Dengan demikian paradigma sufistik Syeh Abdul Qadir al-Jailani adalah integrasi ilmu dan amal.

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan ada beberapa tingkatan iman. Beliau memberikan uraian derajat iman terdapat dalam beberapa tingkatan: (1) keyakinan (2) keikhlasan (3) menunaikan kewajiban (4) menyempurnakan ibadah sunnah (5) menjaga akhlak dalam segala aspek ibadah dan muamalah. [12] Aspek yang terakhir merupakan aspek yang paling penting dan disebut sebagai benteng pertahanan, karena bagaimanapun juga syetan dengan segala cara bisa menggoda manusia untuk menembus benteng pertahananan tersebut. Oleh karena itu jika tidak dijaga akhlak seseorang maka syetan akan mampu menembus ke level yang diatasnya yaitu kewajiban, keihklasan dan keyakinan. Dan merupakan benteng terakhir sehingga mengakibatkan hilangnya keimanan seseorang.

Oleh karena itu merupakan kewajiban bersufi untuk bisa menjaga adab-adab syariah agar bisa mencapai pengetahuan yang layak di hadapan Tuhan serta mendapatkan hakikat dan makrifat akan keberadaan Tuhan Sang Pencipta Alam Raya. Hal ini hanya bisa dilakukan melalui pekerjaan hati. Mengingat tempat bersemayam iman ada di hati. Dengan pemantapan adab ini, berarti akan menyinari keislaman secara lahir dan batin.[13]

Dalam melancarkan dakwah Islam, al-Jailani lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang berlaku menurut syariat Allah. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani berkata: Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan, dan semua itu akan terjadi dengan pertolongan Allah.[14]

Menurut Syeh Abdul Qadir al-Jailani pencarian ma'rifat harus bertumpu pada keimanan yang menjadi keyakinan (haqqal-yaqin), sehingga dari keyakinan itu muncul ma'rifat, dan kemudian ma'rifat inilah yang akan muncul sebagai ilmu yang menyebabkan cerdas di sisi Allah Swt. Hal ini merupakan salah satu arti ma'rifat menurut Syaikh Abdul Qadir, dimana seseorang tidak lagi menyekutukan Allah Swt dengan makhluk, amal, ataupun keinginannya. Keesaan Allah Swt benar-benar dijunjung tinggi, tempat bergantung seluruh makhluknya, tidak ada yang menyamai-Nya (sifat dan dzat-Ny a), dan tidak bisa diterka-terka.[15]

Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, Syeh Abdul Qadir al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pada pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awam,) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia.[16]

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan "usaha manusia" (afal al-'ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk,yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkan serta menjadikan sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka. [17]

Berbeda dengan Jabariyah, mereka berpendapat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Sedangkan pandangan Syeh Abdul Qadir al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[18]

Jadi jelaslah di sini bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim tersebut. Dan Syeh Abdul Qadir al-Jailani menganjurkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa. Jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), oleh sebab itu Allah swt lebih mengetahui segala hikmah.

D.      Konsep Tasawuf Syeh Abdul Qodir Al-Jailani

Menurut Syeh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sir al-Asrar, Syeh Abdul Qadir Al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya sesuai dengan huruf-hurufnya "Tasawuf. [19] Huruf pertama adalah "ta" yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.[20]

Huruf kedua adalah "shad" yang berarti "shafa" yang berarti bersih dan bening. Makna shafa' disini juga meliputi dua macam shafa', yakni shafa' al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa'al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. [21]

Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma' Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf 'shad' ini.[22]

Huruf ketiga adalah 'waw' yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya.[23] Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: "Hamba-Ku yang beriman selalu mendekatkan diri dengan mengerjakan amalan-amalan yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, beginilah fana.[24]

Huruf yang terakhir adalah 'fa' yang melambangkan fana' di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana'an manusia akan abadi (baqa') bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.[25]

Pengertian fana' Syeh Abdul Qadir al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana'-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, Syeh Abdul Qadir al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya. [26]

Meskipun Syeh Abdul Qadir al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan Syeh Abdul Qadir al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana'.[27]

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali Syeh Abdul Qadir al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri dalam arti membenci dunia meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai permasalahan ini Syeh Abdul Qadir al-Jailani juga berkata dalam kitab futuhul ghoib: "Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.[28].

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: "Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti. Dan dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir. " [29]

Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan Syeh Abdul Qadir al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra 'ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat.

Beliau berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani meniscayakan syariat sebagai syarat mutlak untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat, dan kunci penting untuk sampai pada kedekatan dengan-Nya.

Beliau juga mengungkapkan bahwa ma'rifat harus dilalui dengan mujahadah dan pembersihan diri (tazkiyah al-nafs).[30] Hal di atas dapat diketahui dari konsep ma'rifat Syeh Abdul Qadir al-Jailani yaitu: "Kenali Allah Swt (ma 'rifatullah) dan jangan sampai kalian tidak mengenalnya. Taatilah Allah SWT, dan jangan sampai kalian bermaksiat kepada -Nya. Ikutilah (Petunjuk-Nya), dan janganlah kalian berlawanan dengan-Nya, Ridhailah keputusan-Nya, dan janganlah kalian menentang-Nya, Kenalilah Allah SWT melalui ciptaan-Nya, Dialah Yang Maha menciptakan dan Maha memberi rizki, Yang Paling Awal dan Yang Paling Akhir, Yang Paling Tampak dan Yang Paling Rahasia, Yang Paling Terdahulu dan Yang Paling Ada, serta Maha berbuat Terhadap sesuatu yang dikehendaki-Nya "[31]

Orang-orang ma'rifat menurut Syeh Abdul Qadir al-Jailani memiliki keikhlasan sempurna dalam ibadahnya dengan memberikan sifat ketuhanan dan pengabdian kepada-Nya sesuai dengan hak-Nya. Disini hak nafsu menjadi benar karena telah buta kepada dunia, akhirat, dan segala sesuatu selain Allah SWT. Maka dengan kualitas tersebut, para arifin memiliki perbedaan mendasar dengan manusia lain. Manusia lain seperti gambar tanpa ruh, sedangkan mereka ruh itu sendiri, manusia pada umumnya dzahir, sedang mereka adalah batinya, manusia lain ibarat bangunan fisik (mabani) sedangkan mereka adalah arti (ma'ani), manusia lain sebagai wujud kasar (jahr) sedangkan mereka halus (sirr). Mereka adalah pembela para Nabi, beramal dengan amal para Nabi. Dan inilah makna kalimat bahwa ulama merupakan pewaris para Nabi.[32]

Konsepsi sufistik Syeh Abdul Qadir al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari'at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari'at di antara thariqah, ma'rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. "Syari 'at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma 'rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya"[33] Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari'at dengan istiqamah.

E.       Penggabungan Konsep Akidah Tasawuf dengan Fiqih dalam Membentuk Kepribadian Seorang Muslim

Ada lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian Muslim. Dasar pertama adalah akidah yang benar, yang berdiri di atas keimanan yang benar, yang mendorong pada tindakan yang lurus. Dasar kedua ada model ideal yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik. Dasar ketiga adalah kapasitas diri untuk menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan menerapkan ilmu dalam kehidup annya. Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah. Dasar kelima adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.[34]

Rasulullah Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual memadukan model pengamalan agama yang memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan muamalah. pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin, keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan hati, kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.[35]

Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrawi.

Seorang yang memadukan pengamalan syariah dengan tasawuf secara baik dan benar akan menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup berikut ini: (1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi lahir; (2) lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, 'uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih mengutamakan kepuasaanspiritual yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif; dan (4) memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina, dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani; serta (5) memandang aktivitas muamalah seperti bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina.[36]

Pada waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih dengan tasawuf akan menjauhi pola hidup hedonis. Menurut paham ini, suatu perbuatan dinyatakan baik apabila perbuatan tersebut mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan secara biologis.

Demikian sebaliknya, suatu perbuatan dinyatakan buruk, apabila perbuatan itu tidak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis. Jadi, kelezatan, kenikmatan dan kepuasan biologis menjadi ukuran dalam menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Aliran Hedonisme merupakan pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM) yang ketika pertama dicetuskan menyebutkan bahwa kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan yang menjadi ukuran baik dan buruknya suatu perbuatan itu tidak hanya secara biologis, tetapi juga secara rohani dan intelektual. Namun, pada perkembangan selanjutnya hedonisme hanya menilai baik dan buruknya suatu perbuatan dari segi kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan biologis saja. Menurut aliran ini, minuman keras, berjudi, pornoaksi, pornografi, berbuat mesum, dan berzina adalah perbuatan baik, apabila tindakan itu mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan biologis.[37]

Substansi syariat atau fikih adalah aturan-aturan dan norma-norma hukum yang memberikan arah dan tujuan agar ibadah, pengabdian dan penyerahan diri manusia kepada Allah dilakukan dengan benar sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana digariskan di dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad Saw., serta membawa dampak pada penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah. Syariat atau hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak. Bahkan dalam keadaan tertentu dituntut untuk mengedepankan akhlak atas hukum. Di dalam Alquran banyak mengajarkan semangat mendahulukan kemurahan hati dan kebajikan daripadamenuntut hak dan mempertahankannya. Berdasarkan penjelasan di atas, syariah dan tasa-wuf atau hukum dan moralitas bersifat integral. Keduanya tidak dapat dipisahkan.  Dijelaskan bahwa penggabungan antara syariat dan tasawuf atau hukum dan moralitas merupakan prinsip hidup seorang Muslim berdasarkan bimbingan Alquran dan Sunah. Keseimbangan diantara orientasi hukum dan moralitas merupakan prinsip penting di dalam Islam.


 

F.       Penutup

1.    Konsep akidah menurut syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah  tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, Syeh Abdul Qadir al-Jailani menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim tersebut. Dan Syeh Abdul Qadir al-Jailani menganjurkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa. Jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), oleh sebab itu Allah swt lebih mengetahui segala hikmah

2.    Konsep tasawuf menurut syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah tasawuf yang dilandasi al-Qur'an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jama'ah, juga mengajarkan bahwa orang bertasawuf harus seimbang berhubungan dengan Sang Khalik dan sesama manusia. Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan.

3.    Penggabungan akidah, tasawuf dengan fiqih dalam membentuk kepribadian seorang muslim yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra 'ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat, Syariat sebagai syarat mutlak untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat, dan kunci penting untuk sampai pada kedekatan dengan-Nya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Jailani, Abdul Qadir, Futuhul Ghoib, Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973

Al-Jailani, Abdul Qadir, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar Kairo: Mathba'ah a l-Mishriy ah, tt.

Al-Jailani, Abdul Qadir. al-Ghunyahli Thalib Thariqal-Haqq, Vol.I Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996.

Al-Sha 'rani, Tabaqat al-Kubra Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,tt

Fadil, Muhammad al-Jailani, Nahr al-Qadiriyah. Istanbul : Markaz al-Jailani li al-Buhuts al-Ilmiyah, 2010

Hasan, Abul an-Nadwi, Rijal al-Fikri wa ad-Dakwahfi al-Islam Kuwait: Dar al-Qalam, 1969

Hasyim, Umar, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, diterjemahkan oleh Joko Suryanto dari buku, "Syahshiyah Muslim", . Makkah: Maktabah al -Tijariyyah), cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005.

Kamaluddin, Ahmad Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh waal-Hadharah Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975

Madkur, Ibrahim, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu Kairo: Dar al-Ma'arif, 1976

Qadir, Abdul bin Habibullah as-Sindi, at-Tashawuffi MizanilBahtsiwa Tahqiq, Darul Manar, 1995, cet.II.

Razaq, Abdul, al-Kaylani, Abdul Qadir Jailani: al-Imam al-Zahid al-Qudwah, tt

Usman, Asep Ismail dkk., dalam Sri Mulyati, (ed), Tasawuf, cet. ke-1, (Jakarta: Pusat Studi Wa nita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

 

 



[1] Ahmad Kamaluddin Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh waal-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975), h.197

[2] Ibid., h.198

[3] Ibid., h.200

[4] Abul Hasan an-Nadwi, Rijal al-Fikri wa ad-Dakwahfi al-Islam (Kuwait: Dar al-Qalam, 1969), h.237

[5] Ahmad Kamaluddin Hilmi, As-Salajiqahfi-at Tarikh wa al-Hadharah (Kuwait: Dar Al-Buhuts al-Ilmiah, 1975), h. 200.

[6] Abdul Razaq, al-Kaylani, Abdul Qadir Jailani: al-Imam al-Zahid al-Qudwah, tt h.105

[7] Ahmad Kamaluddin Hilmi,As-Salajiqahfiat-Tarikh waal-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiah, 1975), hlm.198

[8] Abu Hasan An-Nadwi, Rijal Al-Fikri wa Ad-Dakwahfi Al-Islam (Kuwait Dar Al-Qalam, 1969), h. 237.

[9] Al-Sha 'rani, Tabaqat al-Kubra (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,tt), h. 109

[10] Abdul al-Razaq al-kaylani, al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Imam al-Zahid al-Qudwah,tt h.126

[11] Muhammad Fadil al-Jailani, Nahr al-Qadiriyah (Istanbul : Markaz al-Jailani li al-Buhuts al-Ilmiyah, 2010), cet.1. h. 185

[12] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyahli Thalib Thariqal-Haqq, Vol.I(Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 149

[13] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol.I (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 150

[14] Ibid., h. 93

[15] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, (Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973), h.13

[16] Abdul Qadir Al-Jailani, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol.I, (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-'Arab, 1996), h. 42.

[17] Abdul Qadir bin Habibullah as-Sindi, at-Tashawuffi MizanilBahtsiwa Tahqiq, Darul Manar, 1995, cet.II, h. 509.

[18] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib, (Maktabah wa Matba'ah Mushtofa :Mesir,1973), h.22 Vol. 7. No. 1. April 2021 h. 1 - 28

[19] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah a l-Mishriy ah), tt. h.76

[20] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah a l-Mishriy ah), tt. h.77

[21] Ibid., h.77

[22] Ibid., h78

[23] Ibid., h.78

[24] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba'ah Mustofa: Mesir, 1973), h. 15

[25] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah al-Mishriyah, tt. h.79

[26] Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1976), 25

[27] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib (Maktabah wa Matba'ah Mustofa: Mesir, 1973), h. 13

[28] Ibid.,h.129

[29] Abdul Qadir al-Jailani, Futuhul Ghoib Penyingkap Keghaiban (Titah Surga: Yogyakarta, 2015), h.128

[30] Ibid., h. 52

[31] Ibid., h. 58

[32] Abdul Qadir al-Jailani, Fath ar-Rabbani ( Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 2010), h. 50

[33] Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar (Kairo: Mathba'ah al-Mishriyah tt) h.62

[34] Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, diterjemahkan oleh Joko Suryanto dari buku, "Syahshiyah Muslim", (Makkah: Maktabah al -Tijariyyah), cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 13-64

[35] Ibid. h. 203 .

[36] Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qufan dan Sunah Nabi saw, h. 568

[37] Asep Usman Ismail dkk., dalam Sri Mulyati, (ed), Tasawuf, cet. ke-1, (Jakarta: Pusat Studi Wa nita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 16

KONSEP AKIDAH DAN TASAWUF SYEH ABDUL QADIR AL-JAILANI

  KONSEP AKIDAH DAN TASAWUF  SYEH ABDUL QADIR AL-JAILANI Oleh: A. Izzul Muthok (Ketua Asnuter Ngronggot)   A.       Pengartar   ...